Kamis, 03 Juni 2010

Serangan Israel ke Marmara

Oleh Dese Susilo Pramono paeh(copy)untuk disebarkan


Jumat, 4 Juni 2010
Palestina kembali mencekam. Lagi-lagi Gaza digempur oleh militer Israel. Mungkin fakta itu tidak begitu mencengangkan. Sebab, serangan terbatas ke Gaza seperti yang dilakukan Israel pekan ini sebelumnya sudah sering dilakukan Israel dengan berbagai alasan hipokritifnya. Karena itu, publik internasional seakan telah terbiasa mendengarnya.

Namun, yang membuat publik dunia tercengang, termasuk Sekjen PBB, negara-negara Uni-Eropa, bahkan (mungkin juga) Amerika Serikat (AS), yaitu serangan militer yang dilancarkan Israel terhadap kapal kemanusiaan Mavi Marmara. Padahal, kapal tersebut mengangkut sukarelawan peduli Palestina dari seluruh dunia yang tergabung dalam Mer-C dan kalangan jurnalis, sehari setelah serangan Israel ke Gaza.

Karena itu, tak mengherankan jika pascapenyerangan itu, berbagai reaksi kecaman dilayangkan oleh negara-negara internasional kepada negeri Zionis itu. Bahkan, Turki yang tercatat paling banyak kehilangan sukarelawannya dalam serangan itu memilih mengecam secara aktif dan tegas dengan menarik duta besarnya dari Tel Aviv.

Minimal, terdapat tiga pertimbangan mendasar yang menjadikan publik internasional begitu mengecam serangan Israel ke kapal Mavi Marmara. Pertama, kapal Mavi Marmara yang berangkat dari Turki merupakan "kapal kemanusiaan" yang tidak memiliki tendensi politik ataupun militer sama sekali. Oleh karena itu, serangan militer terhadapnya dapat dinilai sebagai sebuah serangan dan pelecehan terhadap nilai-nilai kemanusiaan.

Kedua, kapal Mavi Marmara juga memuat kalangan jurnalis dari berbagai penjuru negara di dunia. Karena itu, serangan terhadapnya merupakan simbol pelecehan terhadap perlindungan dan hak kalangan jurnalistik internasional.

Ketiga, terkait dengan masa depan perdamaian, tindakan Israel tersebut dinilai berpeluang memicu memanasnya iklim konflik yang secara langsung akan mengancam masa depan perdamaian, baik pada tingkat lokal Palestina maupun regional Timur Tengah.

Oleh karena itu, bagi penulis, serangan Israel terhadap kapal Mavi Marmara merupakan sebuah blunder riskan yang potensial berpeluang menjadi "bumerang" bagi negeri Zionis itu. Apalagi, jika mengamati bahwa serangan semacam itu secara politik maupun militer dinilai tidak akan memberikan dampak positif berarti bagi Israel.

Dalam catatan penulis, akhir-akhir ini, sejak dipimpin oleh Perdana Menteri Benyamin Netanyahu, blunder semacam ini kerap dilancarkan oleh Israel. Beberapa bulan lalu, Israel juga membuat blunder dengan membunuh salah satu petinggi militer Hamas yang bernama Mahmoud Al Mabhouh. Pembunuhan itu membuat negara-negara Uni-Eropa "terpaksa" mengecam Israel. Pembangunan permukiman secara "membabi buta" di kawasan Jerusalem Timur beberapa tahun ini juga merupakan "catatan hitam" Israel beberapa tahun terakhir ini.

Jika menyimak fakta-fakta itu, maka dapat dipahami bahwa sejatinya rangkaian blunder itu bukan bentuk ketidaksengajaan ataupun kesalahan strategi, tapi memang sebuah sikap yang turun dari paradigma politik. Karena itu, ini menunjukkan bahwa ada perubahan paradigma politik Israel sejak naiknya Perdana Menteri Benyamin Netanyahu. Di bawah kepemimpinan Netanyahu, Israel tampak kencang menggeser paradigma politiknya ke "kanan": konservatif-radikal.

Dalam paradigma politik "kanan", mekanisme berbasis militeristik selalu berada di garda terdepan dalam upaya mewujudkan hasrat politik penggeraknya. Dan, mekanisme dialog biasanya hanya akan dilalui jika dinilai akan memenangkan atau kerap hanya menjadi "kedok" semata.

Perubahan paradigma politik Israel menuju "kanan" di bawah kepemimpinan Netanyahu sama sekali tidak mengejutkan. Sebab, catatan karier politik Netanyahu di Israel memaparkan bahwa sejak dulu ia memang dikenal sebagai pemimpin Israel yang beraliran politik "kanan", tak kenal kompromi.

Dulu, paradigma "kanan" memang jitu dan efektif dalam mengantarkan Israel ke pentas kemenangan dalam setiap rivalitasnya dengan Palestina. Namun, pilihan untuk tetap berparadigma "kanan" yang tampaknya sedang dipilih oleh Netanyahu pada era kepemimpinannya saat ini merupakan sebuah blunder besar yang menjadi pangkal lahirnya rangkaian blunder Israel beberapa tahun terakhir ini.

Pasalnya, pertama, di bawah kepemimpinan Presiden Barack Obama, AS yang selama ini setia menjadi "ibu angkat" Israel justru lebih dulu menerapkan paradigma politik yang berseberangan, yaitu moderat-dialogis. Dengan demikian, berseberangan paradigma politik dengan "sang ibu angkat" dinilai akan menjadi "mimpi buruk" bagi Israel pada masa depan.

Kedua, negara-negara internasional, termasuk Uni Eropa, kini dinilai tengah berharap dan bersemangat besar untuk segera merealisasikan perdamaian di kawasan Timur Tengah, khususnya di Palestina, dengan mekanisme dialog-damai yang berbasis terbentuk dan berdirinya negara Israel dan Palestina. Jika Netanyahu memilih untuk tetap menerapkan paradigma berbasis konservatif-militeristik, maka citra dan posisi negeri Zionis itu akan makin redup dan terpojok.

Tampaknya Netanyahu perlu kembali berpikir untuk terus berdiri di atas paradigma politik "kanan". Sebab, rangkaian kecaman dan tekanan yang diterima Israel, bahkan dari sekutunya sendiri, sejak berada di bawah pimpinannya menunjukkan bahwa paradigma politik "kanan" yang dulu pernah memopulerkan namanya telah usang. Kini, publik dunia benar-benar bertekad ingin mengakhiri kekerasan dan militeristik serta ingin segera melihat "fajar" perdamaian di Palestina dan seantero Timur Tengah melalui meja perundingan.***



http://www.suarakarya-online.com/news.html?category_name=Politik
http://www.suarakarya-online.com/news.html?category_name=Hukum

Tidak ada komentar:

Posting Komentar